9 Mar 2013

Seru-seruan di Pindul


 Minggu, 3 Maret 2013



“Hari ini bakal seru banget!”, seruku dalam hati. Sudah terbayang betapa menyenangkannya keceh (bermain air) di dalam gua. Yeay!
Mundur dari rencana awal yang seharusnya berangkat pukul 07.00 WIB, saya dan empat belas teman dari S1 Komunikasi UNS 2012 berangkat menuju Goa Pindul, Gunungkidul, DIY Yogyakarta. Kami diangkut dua buah mobil Toyota Avanza dan “gerobak” Suzuki Espass meluncur sekitar pukul 08.30. Untuk mempersingkat jarak tempuh, kami memilih jalur Solo-Sukaharjo-Wonosari yang memakan waktu sekitar dua jam.
Suasana di dalam avanza sangat ceria, karena ada dua badut Dory dan Ipin (Arifin) yang menghibur kami di sepanjang perjalanan. Perjalanan dua jam pun tidak terasa karena diselingi dengan canda gurau mereka. Sesampainya di Wonosari, Ipin menghubungi  Mas Wisnu, penyedia jasa wisata Goa Pindul. Kami menunggu Mas Wisnu di depan SMP 3 Karangmojo. Karena, begitu memasuki kawasan wisata Goa Pindul kita akan disambut oleh spanduk-spanduk penyedia jasa antar menuju lokasi. Bahkan, rombongan kami sempat dihampiri tiga pengendara sepeda motor yang dengan ramah menawari kami jasa antar menuju Pindul.
Sekitar 10 menit kemudian, mas wisnu dan seorang temannya menjemput kami dengan sepeda motor. Rombongan kami pun mengikuti mereka di belakang. Saya baru mengerti kenapa begitu banyak jasa antar di sepanjang jalan menuju Pindul. Ternyata lokasi terletak di pedalaman desa, dengan jalan kecil layaknya jalan kampong yang hanya muat dilalui satu mobil.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai dan langsung berganti kostum dan siap “nyebur”. Beruntung, kami sudah reservasi dengan Mas Wisnu jauh-jauh hari sebelumnya. Karena saat kami datang dan kebetulan di hari Minggu lokasi pendaftaran penuh  sesak. Jadi, kami tak lagi perlu mengantre dan langsung menaiki mobil bak terbuka berisi belasan ban dalam truk dan muat untuk delapan orang. Beruntung cuaca siang itu cukupbersahabat, sehingga tidak membuat kami kepanasan.


Tak berapa lama, tibalah kami di jalan setapak yang nampaknya sering dilewati roda kendaraan. Satu persatu kami turun. Pak Warso, pendamping kami membekali masing-masing orang dengan sebuah ban dalam dan kami diharuskan membawanya turun ke bibir sungai.
Rupanya, bibir sungai tersebut menjadi titik awal kami untuk self tubing. Rombongan dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok berisi lima orang yang saling memegang ban agar tidak terpisah satu sama lain. Sayangnya, air yang tenang dan minimnya jeram membuat tubing terasa agak membosankan. Adrenalin saya baru terpacu saat kami berhenti di sebuah tebing. Tebing tersebut memiliki beberapa air terjun dan area ”terjun”.
Saya harus terjun dari area tersebut, tekad saya dalam hati. Tak peduli meskipun saya tidak bisa berenang. Toh masih ada jaket pelampung yang melekat di tubuh saya. Ya, saya harus berani terjun, saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Secara bergantian, ketujuh teman lelaki dan satu teman perempuan saya terjun. Lalu, tiba giliran saya. Wah, lumayan tinggi juga ya ternyata kalau dilihat dari atas tebing. Tekad bulat saya, perlahan memudar. Takut, bingung, khawatir, menyelimuti diri saya ditambah dengan detak jantung yang semakin cepat. Saya merasakan wajah saya perlahan memucat. Perasaan ragu mendominasi pikiran saya.
Sepertinya, teman-teman menyadari hal ini. Mereka berteriak menyemangati saya dari bawah. Dedi, pemuda asal Aceh kembali naik dan menghampiri saya. “ Ayo mbak, nanti saya tunggu di bawah”, serunya. Dan, byurrrrr! Dia langsung melompat begitu selesai menyemangati saya.
Sesaat semangat saya kembali muncul, namun surut ketika kembali melihat ketinggian tebing. Beberapa pemuda yang juga ingin melompat ikut menyemangati saya. Melihat tak ada “pergerakan”, Danang pemuda asal Banyuwangi melakukan hal yang sama dengan Dedi. Dia dengan penuh semangat menyemangati saya. “ Mbak, kita loncat bareng ya. Pegang tanganku, tapi nanti lepaskan begitu sampai di bawah”, ujarnya dengan mata berkilat.
“ Ok, kita loncat bersama”, kata saya
“ Siap? Aku hitung sampai tiga ya”, tanya Danang
“ Satu.. dua.. ti..” Belum habis Danang menghitung, dia sudah meloncat dan bersamaan dengan itu saya lepaskan pegangan dengan menghentakkan tangannya. Dia terjun sendirian. Nyali saya sudah menciut. Dia terjun dan muncul ke permukaan sambil mengacungkan jari tengah yang menyayangkan ketakutan saya.
Fiuuhh.. saya kembali turun menggunakan tangga tempat kami naik menuju tebing. Di bawah, seorang pemandu sudah siap dengan sebuah ban tanpa teman-teman saya yang lain. Rupanya, mereka melaju tanpa saya.
“ Kenapa nggak jadi terjun? Takut?”, tanya bapak pemandu yang saya ketahui bernama Pak Madyo.
“ Iya pak, ternyata lebih tinggi dari yang terlihat dari bawah”
“ Ya, sudah ora usah digetuni (tidak usah disesali). Biar nggak getun,  saya lewatkan di air terjun ya”
Dan benar, Pak Madyo menuntun ban saya menuju air terjun. Brrr, dingin dan segarnya air seolah menghilangkan ketakutan saya. Saya baru sadar, hanya saya yang tertinggal di belakang. Tampaknya enam orang teman melaju terlebih dahulu, sedangkan sisanya memilih berenang tanpa ban merasakan kesegaran sungai (yang saya lupa namanya :p). Saya hanya ditemani Pak Madyo yang setia menjaga sayea dari belakang ban. Ah, sepertinya kurang segelas jus jeruk untuk merefresh tenaga saya. Hehehe..
Belum kering pakaian kami, dua buah mobil bak terbuka menjemput dan menurunkan kami di lokasi pendaftaran. Lalu, kami menaiki tangga di dekat loket pendaftaran dan berjalan menuju Goa Pindul. Yeay!
Sayangnya, suasana di dalam gua tidak seseru yang saya bayangkan. Entah karena lelah atau karena minimnya cahaya di dalam gua, membuat saya bosan dan sedikit mengantuk. Apalagi para pemandu medongengi kami dengan kisah asal muasal goa. Hoahmm..
Untungnya, di ujung goa terdapat arena loncat. Ya, walaupun tidak setinggi lokasi pertama paling tidak kali ini saya berani nyemplung. Wohoooo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar