Minggu, 3 Maret 2013
“Hari ini bakal
seru banget!”, seruku dalam hati. Sudah terbayang betapa menyenangkannya keceh (bermain air) di dalam gua. Yeay!
Mundur
dari rencana awal yang seharusnya berangkat pukul 07.00 WIB, saya dan empat
belas teman dari S1 Komunikasi UNS 2012 berangkat menuju Goa Pindul,
Gunungkidul, DIY Yogyakarta. Kami diangkut dua buah mobil Toyota Avanza dan “gerobak” Suzuki Espass meluncur sekitar
pukul 08.30. Untuk mempersingkat jarak tempuh, kami memilih jalur
Solo-Sukaharjo-Wonosari yang memakan waktu sekitar dua jam.
Suasana
di dalam avanza sangat ceria, karena ada dua badut Dory dan Ipin (Arifin) yang
menghibur kami di sepanjang perjalanan. Perjalanan dua jam pun tidak terasa
karena diselingi dengan canda gurau mereka. Sesampainya di Wonosari, Ipin
menghubungi Mas Wisnu, penyedia jasa
wisata Goa Pindul. Kami menunggu Mas Wisnu di depan SMP 3 Karangmojo. Karena,
begitu memasuki kawasan wisata Goa Pindul kita akan disambut oleh
spanduk-spanduk penyedia jasa antar menuju lokasi. Bahkan, rombongan kami
sempat dihampiri tiga pengendara sepeda motor yang dengan ramah menawari kami
jasa antar menuju Pindul.
Sekitar
10 menit kemudian, mas wisnu dan seorang temannya menjemput kami dengan sepeda
motor. Rombongan kami pun mengikuti mereka di belakang. Saya baru mengerti
kenapa begitu banyak jasa antar di sepanjang jalan menuju Pindul. Ternyata
lokasi terletak di pedalaman desa, dengan jalan kecil layaknya jalan kampong
yang hanya muat dilalui satu mobil.
Sepuluh
menit kemudian, kami sampai dan langsung berganti kostum dan siap “nyebur”. Beruntung, kami sudah
reservasi dengan Mas Wisnu jauh-jauh hari sebelumnya. Karena saat kami datang
dan kebetulan di hari Minggu lokasi pendaftaran penuh sesak. Jadi, kami tak lagi perlu mengantre
dan langsung menaiki mobil bak terbuka berisi belasan ban dalam truk dan muat
untuk delapan orang. Beruntung cuaca siang itu cukupbersahabat, sehingga tidak
membuat kami kepanasan.
Tak
berapa lama, tibalah kami di jalan setapak yang nampaknya sering dilewati roda
kendaraan. Satu persatu kami turun. Pak Warso, pendamping kami membekali
masing-masing orang dengan sebuah ban dalam dan kami diharuskan membawanya
turun ke bibir sungai.
Rupanya,
bibir sungai tersebut menjadi titik awal kami untuk self tubing. Rombongan dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing
kelompok berisi lima orang yang saling memegang ban agar tidak terpisah satu
sama lain. Sayangnya, air yang tenang dan minimnya jeram membuat tubing terasa
agak membosankan. Adrenalin saya baru terpacu saat kami berhenti di sebuah
tebing. Tebing tersebut memiliki beberapa air terjun dan area ”terjun”.
Saya
harus terjun dari area tersebut, tekad saya dalam hati. Tak peduli meskipun
saya tidak bisa berenang. Toh masih ada jaket pelampung yang melekat di tubuh
saya. Ya, saya harus berani terjun, saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Secara
bergantian, ketujuh teman lelaki dan satu teman perempuan saya terjun. Lalu,
tiba giliran saya. Wah, lumayan tinggi juga ya ternyata kalau dilihat dari atas
tebing. Tekad bulat saya, perlahan memudar. Takut, bingung, khawatir,
menyelimuti diri saya ditambah dengan detak jantung yang semakin cepat. Saya
merasakan wajah saya perlahan memucat. Perasaan ragu mendominasi pikiran saya.
Sepertinya,
teman-teman menyadari hal ini. Mereka berteriak menyemangati saya dari bawah.
Dedi, pemuda asal Aceh kembali naik dan menghampiri saya. “ Ayo mbak, nanti
saya tunggu di bawah”, serunya. Dan, byurrrrr! Dia langsung melompat begitu
selesai menyemangati saya.
Sesaat
semangat saya kembali muncul, namun surut ketika kembali melihat ketinggian
tebing. Beberapa pemuda yang juga ingin melompat ikut menyemangati saya.
Melihat tak ada “pergerakan”, Danang pemuda asal Banyuwangi melakukan hal yang
sama dengan Dedi. Dia dengan penuh semangat menyemangati saya. “ Mbak, kita
loncat bareng ya. Pegang tanganku, tapi nanti lepaskan begitu sampai di bawah”,
ujarnya dengan mata berkilat.
“
Ok, kita loncat bersama”, kata saya
“
Siap? Aku hitung sampai tiga ya”, tanya Danang
“
Satu.. dua.. ti..” Belum habis Danang menghitung, dia sudah meloncat dan
bersamaan dengan itu saya lepaskan pegangan dengan menghentakkan tangannya. Dia
terjun sendirian. Nyali saya sudah menciut. Dia terjun dan muncul ke permukaan
sambil mengacungkan jari tengah yang menyayangkan ketakutan saya.
Fiuuhh..
saya kembali turun menggunakan tangga tempat kami naik menuju tebing. Di bawah,
seorang pemandu sudah siap dengan sebuah ban tanpa teman-teman saya yang lain.
Rupanya, mereka melaju tanpa saya.
“
Kenapa nggak jadi terjun? Takut?”, tanya bapak pemandu yang saya ketahui
bernama Pak Madyo.
“
Iya pak, ternyata lebih tinggi dari yang terlihat dari bawah”
“ Ya,
sudah ora usah digetuni (tidak usah
disesali). Biar nggak getun, saya lewatkan di air terjun ya”
Dan
benar, Pak Madyo menuntun ban saya menuju air terjun. Brrr, dingin dan segarnya
air seolah menghilangkan ketakutan saya. Saya baru sadar, hanya saya yang tertinggal
di belakang. Tampaknya enam orang teman melaju terlebih dahulu, sedangkan
sisanya memilih berenang tanpa ban merasakan kesegaran sungai (yang saya lupa
namanya :p). Saya hanya ditemani Pak Madyo yang setia menjaga sayea dari
belakang ban. Ah, sepertinya kurang segelas jus jeruk untuk merefresh tenaga saya. Hehehe..
Belum kering
pakaian kami, dua buah mobil bak terbuka menjemput dan menurunkan kami di
lokasi pendaftaran. Lalu, kami menaiki tangga di dekat loket pendaftaran dan
berjalan menuju Goa Pindul. Yeay!
Sayangnya,
suasana di dalam gua tidak seseru yang saya bayangkan. Entah karena lelah atau
karena minimnya cahaya di dalam gua, membuat saya bosan dan sedikit mengantuk. Apalagi
para pemandu medongengi kami dengan kisah asal muasal goa. Hoahmm..
Untungnya,
di ujung goa terdapat arena loncat. Ya, walaupun tidak setinggi lokasi pertama
paling tidak kali ini saya berani nyemplung. Wohoooo!