16 Jan 2014

hello, Sisi

Bahagia itu sederhana. Kenapa? Karena bisa saya -yang belum pernah sekalipun menjahit menggunakan mesin- hari ini (Kamis, 16 Januari 2014) bisa menjahit!. Berkat kesabaran suami saya, akhirnya saya dapat menjahit lurus, mengunci jahitan, dan menjahit pola nama. Yeay!

Mesin jahit tersebut saya beri nama Sisi –dari merk-nya Singer. Sisi adalah mas kawin yang diberikan suami saya pada pernikahan kami tiga bulan yang lalu. Unik ya.. Hehehe...



Harapannya, supaya saya memiliki kegiatan di saat luang yang syukur-syukur bisa menghasilkan uang jajan. Aamiin..

xoxo


1 Jul 2013

Packing

article-0-059AC0A3000005DC-149_468x489.jpg (468×489)



Kegiatan bongkar muat barang memang menjadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Saya bisa menghabiskan waktu seharian penuh untuk memilah-milah barang apa saja yang harus dikemas, berapa banyak kardus yang diperlukan, dan memasukkan barang berdasarkan jenisnya. Ada kepuasaan tersendiri ketika barang-barang sudah terkemas dengan rapi dan siap untuk diangkut, dipindah menuju ke tempat yang baru. Namun, ketika belasan kardus sudah sampai di tempat baru ada keengganan untuk membongkar barang lalu menatanya kembali.

Ini kali kedua saya membongkar muat barang. Pertama, saat pindah dari Semarng untuk menempati kamar kos di Kota Solo. Waktu itu, saya sempat kebingungan dan kerepotan memilih barang apa saja yang harus saya bawa. Kedua, saat pindah dari rumah kos pertama saya ke rumah kos baru yang letaknya cukup dekat. Tidak ada yang berbeda, saya tetap saja bingung dan repot. Barang yang saya bawa pun juga lebih banyak. Hahaha..

Ini malam pertama saya menempati kamar baru. Selayaknya manusia yang menemukan hal baru, saya membandingkan lingkungan kos lama dan kos baru saya. Saya langsung jatuh cinta ketika menemukan kos lama saya yang memiliki balkon, berlimpah cahaya matahari, dan kamar yang luas. Saya juga mempunyai teman-teman kos dari berbagai jurusan keilmuan dengan pribadi yang menyenangkan dan keunikan masing-masing. Sayangnya, kenikmatan tersebut tidak didukung oleh penjaga kos yang menyenangkan pula. Seingat saya, selama sembilan bulan menyewa kamar tersebut, saya sudah beberapa kali mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan hati dengan para pengurus kos. Mulai dari masalah kesulitan air di musim kemarau, kekisruhan parkir motor, hingga memasuki kamar tanpa seijin dan sepengetahuan saya. Namun, saya tidak sendirian. Karena ternyata banyak teman-teman yang lebih dahulu menempati kamar kos tersebut yang kurang lebih sama, bahkan lebih parah.

Lalu, bagaimana dengan kamar kos saya yang baru? Saya menemukan beberapa hal yang sesuai dengan kebutuhan saya. Semoga tidak ada lagi hal-hal kurang menyenangkan yang "makan ati".

16 Mar 2013

Meditasi di Rabu Pagi



Rabu, 13 Maret 2013

meditation-omharmonics_large.png (500×375)

Pagi hari saat kabut masih menyelimuti bumi, saya dan seorang teman perempuan tergesa menuju Taman Balekambang, Solo. Suasana masih sepi, bahkan gerbang taman pun hanya terbuka sedikit. Sepi.

Petugas taman melihat kami kebingungan, mengarahakan kemana kami harus pergi. Petugas menunjuk ke sebuah teater terbuka yang dibangun dengan batu alam. Perlahan, kami bergabung dengan kelima orang lain yang sedang bermeditasi. Sang instruktur, seorang perempuan paruh baya menghampiri kami, “ Sudah pernah berapa kali mengikuti yoga?”
“ Ini baru pertama kali”, jawab saya
“ OK. Silahkan bermeditasi dan ikuti saya sesuai kemampuan diri, kalau lelah jangan dipaksa”, saran perempuan bernama Ana.

Meditasi berlangsung selama setengah jam. Berhubung kami datang sedikit terlambat, kami hanya mengikuti separuh waktu saja. Usai meditasi, kami diminta untuk mengusap-usap telapak tangan dan meluruskan kaki untuk mengurangi kesemutan.

Lalu, sesi pertama yoga pun dimulai dengan menegakkan badan dan mengatur pernapasan. Kita dihasruskan untuk menegakkan badan sikap sempurna. Tujuannya agar tulang belakang kita lurus, tidak buingkuk. Hal ini juga bagus bagi seseorang yang memiliki kebiasaan bungkuk, terutama para orangtua.

Selanjutnya, tubuh kita akan mulai meliuk ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, ke semua penjuru. Semua otot tubuh akan tertarik dan percaya atau tidak, meskipun sekilas yoga terlihat mudah dan santai tapi tubuh mampu mengeluarkan keringat sama seperti saat kita jogging. Fiuuhh…

Ada kejadian memalukan saat saya sedang meliukkan tubuh seperti kucing yang menggeliat. Karena saya membawa matras seukuran separuh badan, saya terpleset saat akan berdiri. Kebetulan lantai batu yang saya tempati licin akibat hujan semalam. Alhasil, tubuh saya sukses jatuh. Duh..sudah malu, sakit pula.  Ibu Anna sempat mengingatkan saya untuk sebaiknya menggunakan matras seukuran badan agar tidak lagi terjadi hal semacam itu.

Puas meliuk-liuk, di akhir sesi kita diminta untuk telentang di atas matras. Dengan mata terpejam, kita diminta untuk relaksasi sembari menikmati suasana pagi. Saya menghirup udara yang masih bersih, suara gemerisik dedaunan, cicit burung, suara mesin pemotong rumput, manisnya aroma rumput yang sedang dipotong, dan suara hembusan napas saya sendiri.

Yoga di tempat ini terbuka bagi siapapun yang berminat dengan olahraga meditasi ini. Baik anak muda, maupun orangtua boleh bergabung. Ini kedua kalinya saya melakukan yoga. Pertama, saya yoga dengan instruksi dari sebuah acara televisi nasional dan kedua di Taman Balekambang, atas informasi seorang teman.

Ada empat instruktur yang bergantian melatih setiap minggunya. Dua kali dalam seminggu, yakni di hari Rabu pukul 06.00 WIB dan Sabtu pukul 07.00 WIB kelas ini terbuka untuk umum. Kita bebas mau ikut kelas yang mana, bebas memberikan uang jasa alias sukarela. Tertarik? 

15 Mar 2013

Tea time



Selasa, 12 Maret 2013



Tanggal merah di hari Selasa, itu artinya hari libur nasional. Ya, hari ini para umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi 1935. Bingung tak tahu harus mengisi liburan kemana, saya memilih untuk menghabiskan hari di dalam kamar membuat slipper.

Sayangnya, siang hari saat saya sedang khusuk menikmati makan siang, tiba-tiba seorang teman perempuan muncul di depan kamar. Dia terlihat terburu-buru dan kesulitan mengatur napas (kebetulan kamar saya terletak di lantai atas :p).

“ Mbak, ayo ganti baju kita udah ditungguin sama teman-teman di bawah. Kita mau ke Ndoro Dongker”, serunya

Saya lalu ikut terburu-buru bergabti baju dan menemui teman-teman yang telah menunggu. Berenam, kami berangkat menuju kaki Gunung Lawu, tepatnya di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 45 menit dari Kota Solo dan sampailah kami di hamparan kebun teh, Kemuning.

Meskipun waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, matahari masih terik menyinari bumi. Padahal, dengan ketinggian di kaki gunung seharusnya hawa sejuk sudah terasa. Tak apalah, yang penting kami bisa menikmati pemandangan menakjubkan di sini. Tak banyak yang bisa kami lakukan selain menikmati suasana alam dan keindahan lereng-lereng bukit yang dipenuhi tanaman teh.

Puas menikmati hamparan teh dan tentu saja berfoto bersama, kami lalu turun. Sekitar 10 menit kemudian, sampailah kami di Ndoro Dongker. Sebuah tempat yang menawarkan sajian teh di tengah hamparan teh. Ini kedua kalinya saya ke rumah peninggalan jaman Belanda yang disulap menjadi sebuah kafe. Kafe ini memang khusus menyajikan beraneka macam jenis teh.

Menu kesukaan kami adalah passion fruit tea dan tempe goreng. Pas banget disantap di sejuknya hawa pegunungan. Sayangnya, tempe goreng laris manis dipesan. Sehingga, dengan sedikit kecewa kami memilih menu lain, tahu goreng, kentang keju, singkong goreng, dan nasi kare, serta mencoba Black Tea Ndoro Dongker. Harga yang ditawarkan cukup terjangkau, untuk teh harga mulai Rp 15.000,00 sedangkan untuk makanan kecil dihargai mulai Rp 10.000,00.

Teh, hawa sejuk pegunungan, dan teman-teman yang menyenangkan, it’s pleasure J


9 Mar 2013

Seru-seruan di Pindul


 Minggu, 3 Maret 2013



“Hari ini bakal seru banget!”, seruku dalam hati. Sudah terbayang betapa menyenangkannya keceh (bermain air) di dalam gua. Yeay!
Mundur dari rencana awal yang seharusnya berangkat pukul 07.00 WIB, saya dan empat belas teman dari S1 Komunikasi UNS 2012 berangkat menuju Goa Pindul, Gunungkidul, DIY Yogyakarta. Kami diangkut dua buah mobil Toyota Avanza dan “gerobak” Suzuki Espass meluncur sekitar pukul 08.30. Untuk mempersingkat jarak tempuh, kami memilih jalur Solo-Sukaharjo-Wonosari yang memakan waktu sekitar dua jam.
Suasana di dalam avanza sangat ceria, karena ada dua badut Dory dan Ipin (Arifin) yang menghibur kami di sepanjang perjalanan. Perjalanan dua jam pun tidak terasa karena diselingi dengan canda gurau mereka. Sesampainya di Wonosari, Ipin menghubungi  Mas Wisnu, penyedia jasa wisata Goa Pindul. Kami menunggu Mas Wisnu di depan SMP 3 Karangmojo. Karena, begitu memasuki kawasan wisata Goa Pindul kita akan disambut oleh spanduk-spanduk penyedia jasa antar menuju lokasi. Bahkan, rombongan kami sempat dihampiri tiga pengendara sepeda motor yang dengan ramah menawari kami jasa antar menuju Pindul.
Sekitar 10 menit kemudian, mas wisnu dan seorang temannya menjemput kami dengan sepeda motor. Rombongan kami pun mengikuti mereka di belakang. Saya baru mengerti kenapa begitu banyak jasa antar di sepanjang jalan menuju Pindul. Ternyata lokasi terletak di pedalaman desa, dengan jalan kecil layaknya jalan kampong yang hanya muat dilalui satu mobil.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai dan langsung berganti kostum dan siap “nyebur”. Beruntung, kami sudah reservasi dengan Mas Wisnu jauh-jauh hari sebelumnya. Karena saat kami datang dan kebetulan di hari Minggu lokasi pendaftaran penuh  sesak. Jadi, kami tak lagi perlu mengantre dan langsung menaiki mobil bak terbuka berisi belasan ban dalam truk dan muat untuk delapan orang. Beruntung cuaca siang itu cukupbersahabat, sehingga tidak membuat kami kepanasan.


Tak berapa lama, tibalah kami di jalan setapak yang nampaknya sering dilewati roda kendaraan. Satu persatu kami turun. Pak Warso, pendamping kami membekali masing-masing orang dengan sebuah ban dalam dan kami diharuskan membawanya turun ke bibir sungai.
Rupanya, bibir sungai tersebut menjadi titik awal kami untuk self tubing. Rombongan dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok berisi lima orang yang saling memegang ban agar tidak terpisah satu sama lain. Sayangnya, air yang tenang dan minimnya jeram membuat tubing terasa agak membosankan. Adrenalin saya baru terpacu saat kami berhenti di sebuah tebing. Tebing tersebut memiliki beberapa air terjun dan area ”terjun”.
Saya harus terjun dari area tersebut, tekad saya dalam hati. Tak peduli meskipun saya tidak bisa berenang. Toh masih ada jaket pelampung yang melekat di tubuh saya. Ya, saya harus berani terjun, saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Secara bergantian, ketujuh teman lelaki dan satu teman perempuan saya terjun. Lalu, tiba giliran saya. Wah, lumayan tinggi juga ya ternyata kalau dilihat dari atas tebing. Tekad bulat saya, perlahan memudar. Takut, bingung, khawatir, menyelimuti diri saya ditambah dengan detak jantung yang semakin cepat. Saya merasakan wajah saya perlahan memucat. Perasaan ragu mendominasi pikiran saya.
Sepertinya, teman-teman menyadari hal ini. Mereka berteriak menyemangati saya dari bawah. Dedi, pemuda asal Aceh kembali naik dan menghampiri saya. “ Ayo mbak, nanti saya tunggu di bawah”, serunya. Dan, byurrrrr! Dia langsung melompat begitu selesai menyemangati saya.
Sesaat semangat saya kembali muncul, namun surut ketika kembali melihat ketinggian tebing. Beberapa pemuda yang juga ingin melompat ikut menyemangati saya. Melihat tak ada “pergerakan”, Danang pemuda asal Banyuwangi melakukan hal yang sama dengan Dedi. Dia dengan penuh semangat menyemangati saya. “ Mbak, kita loncat bareng ya. Pegang tanganku, tapi nanti lepaskan begitu sampai di bawah”, ujarnya dengan mata berkilat.
“ Ok, kita loncat bersama”, kata saya
“ Siap? Aku hitung sampai tiga ya”, tanya Danang
“ Satu.. dua.. ti..” Belum habis Danang menghitung, dia sudah meloncat dan bersamaan dengan itu saya lepaskan pegangan dengan menghentakkan tangannya. Dia terjun sendirian. Nyali saya sudah menciut. Dia terjun dan muncul ke permukaan sambil mengacungkan jari tengah yang menyayangkan ketakutan saya.
Fiuuhh.. saya kembali turun menggunakan tangga tempat kami naik menuju tebing. Di bawah, seorang pemandu sudah siap dengan sebuah ban tanpa teman-teman saya yang lain. Rupanya, mereka melaju tanpa saya.
“ Kenapa nggak jadi terjun? Takut?”, tanya bapak pemandu yang saya ketahui bernama Pak Madyo.
“ Iya pak, ternyata lebih tinggi dari yang terlihat dari bawah”
“ Ya, sudah ora usah digetuni (tidak usah disesali). Biar nggak getun,  saya lewatkan di air terjun ya”
Dan benar, Pak Madyo menuntun ban saya menuju air terjun. Brrr, dingin dan segarnya air seolah menghilangkan ketakutan saya. Saya baru sadar, hanya saya yang tertinggal di belakang. Tampaknya enam orang teman melaju terlebih dahulu, sedangkan sisanya memilih berenang tanpa ban merasakan kesegaran sungai (yang saya lupa namanya :p). Saya hanya ditemani Pak Madyo yang setia menjaga sayea dari belakang ban. Ah, sepertinya kurang segelas jus jeruk untuk merefresh tenaga saya. Hehehe..
Belum kering pakaian kami, dua buah mobil bak terbuka menjemput dan menurunkan kami di lokasi pendaftaran. Lalu, kami menaiki tangga di dekat loket pendaftaran dan berjalan menuju Goa Pindul. Yeay!
Sayangnya, suasana di dalam gua tidak seseru yang saya bayangkan. Entah karena lelah atau karena minimnya cahaya di dalam gua, membuat saya bosan dan sedikit mengantuk. Apalagi para pemandu medongengi kami dengan kisah asal muasal goa. Hoahmm..
Untungnya, di ujung goa terdapat arena loncat. Ya, walaupun tidak setinggi lokasi pertama paling tidak kali ini saya berani nyemplung. Wohoooo!